makalah iklas beramal
IKLAS BERAMAL
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits
Disusun Oleh Kelompok 3 :
1.Cindy Agustini (2016.01.050)
2.Devi Afriani (2016.01.066)
3.Luthfiah Rizky Amini (2016.01.049)
4.Wiwin Novayani (2016.01.067)
2.Devi Afriani (2016.01.066)
3.Luthfiah Rizky Amini (2016.01.049)
4.Wiwin Novayani (2016.01.067)
Dosen Pengampu : Tapa’ul
Habdin, M.A.
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an al-Ittifaqiah ( STITQI )
Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan
Tahun Akademik 2017
Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan
Tahun Akademik 2017
KATA PENGANTAR
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadiran
Allah SWT karena berkat limpahan rahmat, taufik serta hidayat-Nya, Kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “IKLAS BERAMAL“ ini. Semoga kita semua selalu
berada dalam rida-Nya. Amin. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai
bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah Hadits. Salam dan shalawat kami
kirimkan kepada suritauladan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,
para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran
beliau.
Kami menyadari,
bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam
memahami teori. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang
telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi Penulis sendiri.
Indralaya, 08 Desember 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...........................................................................
|
II
|
DAFTAR ISI
..........................................................................................
|
III
|
BAB I PENDAHULUAN
......................................................................
|
1
|
A.
Latar
Belakang ...........................................................................
|
1
|
B.
Rumusan
Masalah .......................................................................
|
1
|
C.
Tujuan
Masalah ...........................................................................
|
1
|
BAB II PEMBAHASAN
.......................................................................
|
2
|
A.
Pengertian
dan Niat Ikhlas Beramal ............................................
|
2
|
B.
Cara
Ikhlas dalam Beramal
.........................................................
|
6
|
C.
Menjauhi
Perbuatan Riya’/ Syirik kecil ......................................
|
10
|
BAB III PENUTUP ...............................................................................
|
14
|
A.
Simpulan
......................................................................................
|
14
|
B.
Saran
............................................................................................
|
14
|
C.
Daftar
Pustaka .............................................................................
|
15
|
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ikhlas dalam beramal merupakan sikap yang tiada
mengharapkan tujuan lain selain dari pada untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ikhlas dalam beramal tidak
boleh diikuti dengan niat riya, yaitu mengharapkan pujian atau kehormatan dari
sesamanya. Karena amal yang akan dibalas oleh Allah adalah amal yang dilakukan karena mengharap kasih dan
sayang-Nya, yaitu dengan keikhlasan di dalam hatinya.
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan judul
diatas merupakan hal yang sangat penting sekali. Karena banyak sekali orang
yang berbuat tidak disertai dengan niat yang ikhlas. Sehingga kita perlu tahu,
apa hal-hal yang menjadi tolak ukur ikhlas atau tidaknya
seseorang dalam berbuat kebajikan. Dan apa jadinya suatu amalan yang dilakukan
dengan niat bukan untuk mendapatkan ridha Allah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan iklas beramal
beserta niatnya ?
2. Bagaimana Cara Ikhlas dalam Beramal ?
3. Mengapa perbuatan riya’ dan syirik harus
dijauhi ?
C.
Tujuan Masalah
1. Untuk pengetahui pengertian iklas beramal
beserta niatnya.
2. Untuk mengetahui Cara Ikhlas dalam
beramal.
3. Untuk mengetahui bahayanya sifat riya’
dan syirik.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ikhlas Beramal
Secara bahasa
ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor.
Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk
Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan
tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat
mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak, atau dapat juga diartikan
sebagai menyengajakan perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah dan
memurnikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan duniawi. Dengan demikian,
perbuatan seseorang benar-benar tidak dicampuri oleh keinginan yang bersifat
sementara, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas,
simpati orang lain, pemuasan hawa nafsu, dan penyakit hati lainnya. Para ulama sepakat bahwa niat dalam setiap
amal itu merupakan satu kemestian bagi diperolehnya pahala dari amal itu.
Ikhlas karena Allah dalam berbuat merupakan salah satu syarat diterimanya
perbuatan itu. hal ini, karena Allah tidak akan menerima amal perbuatan
seseorang kecuali karena keikhlasan, hanya mengharap ridho-Nya.[1]
Niat motivasi
beramal :
عن أميرالمؤمنين أبى حفص عمر ابن الخطاب
رضي اللّه عنه قال : سمعت رسول اللّه
صلى اللّه عليه وسلم يقول : إنما الأعمال
بالنيات وسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول : إنما الأعمال بالنيات
وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كا نت هجرته
إلى اللّه ورسوله فهجرته إلى اللّه ورسوله , ومن
كانت هجرته لدنياه يصيبها أوامرءة ينكحها
فهجرته إلى ما هجر إليه
“Dari Amirul Mu’minin Abu
Hafshin Umar bin Khathtbab r.a., ia berkata saya telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda : ‘sesunggunya segala amal ibadah itu dengan niat. Dan sesunggunya
bagi tiap-tiap orang itu, hanyalah menurut apa yang diniatkannya. Maka barang
siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka ia akan memperoleh
pahala. Dan barang siapa yang berhijrah untuk memperoleh keduniaan (harta dan
kemegahan dunia) atau karena seorang perempuan yang akan dikawininya, maka ia
akan memperoleh apa yang dihijrahinya (ditujunya).”[2]
Hadits di atas menunjukn
bahwa niat merupakan stantar benar tidaknya suatu perbuatan. Apabila niatnya
baik, maka amalannya juga bernilai baik. Apabila niatnya rusak, maka amalannya
juga dinilai rusak. Jika perbuatan seseorang dihubungkan dengan niat, maka
dapat dibagi menjadi tiga:
Pertama: dia melakukan
hal itu karena takut kepada Allah swt, ini adalah model ibadah ala budak.
Kedua: dia melakukannya
karena berharap masuk surga dan memperoleh pahala, ini adalah model ibadah ala
pedagang.
ketiga: dia melakukannya
karena malu kepada Allah dan sebagai realisasi atas hak Allah sebagai ilah yang
harus diibadahi, serta sebagai wujud rasa syukur. Selian itu, dia memandang
dirinya masih kurang maksimal, sehingga hatinya merasa takut, sebab dia tidak
mengetahui apakah amalan yang dia lakukan diterima ataukah tidak. Ini adalah
model ibadah ala orang merdeka. Hal inilah yang disinggung oleh Rasulullah
ketika Aisyah berkata kepada beliau saat melihat beliau bangun diwaktu malam
hingga kedua kakinya bengkak, Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau
harus membebani diri seperti itu, Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang
telah lalu dan yang akan datang? ”Beliau
menjawab: “Bukankah sudah sepantasnya aku menjadi hamba yang pandai
bersyukur?” [3]
Telah disebutkan dalam Kitab Al-Bayan
wat-Ta’rif, tentang sebab Nabi
menyabdakan hadits ini: “manakala Rasulullah SAW telah bermukim di Madinah
sahabat-sahabatnya telah berhijrah kesana dan banyak yang mendapat penyakit
demam, datanglah seorang laki-laki ke Madinah dengan menyatahkan bahwa dia
berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Sebenarnya dia datang untuk mengawini
seorang perempuan yang ia cintai, yang telah lebih dulu ke Madinah, yang biasa
dipanggil Ummul Qois. Namanya yang sebenarnya
adalah Lailah. Pada suatu hari Nabi naik ke mimbar memberi nasehat
kepada umat. Diantara ucapan beliau ketika itu ialah hadits yang dibahas ini.
Ibnu Mas’ud berkata: :Diantara para
sahabat ada seorang lelaki yang ingin kawin dengan seorang perempuan yang biasa
dipanggil Ummul Qois yang tidak suka menjadi istri orang yang mencintainya.
Kalau orang itu tidak mau berhijrah. Karena itu, berhijrahlah orang tersebut,
lalu kawinlah mereka. Para sahabat menamai orang/lelaki itu dengan Muhajir
Ummu Qois = seseorang yang berhijrah karena Ummul Qois. Kisah Muhajir
Ummul Qois ini diriwayatkan oleh: Sa’ied Ibnu Manshur dalam sunahnya.
Hadis ini menerangkan bahwa setiap
perbuatan syar’iyyah tergantung dengan niat dan hisbah (keinginan untuk
mendapatkan pahala). Yaitu apabila dikaitkan dengan hadis Umar bahwa setiap
perbuatan tergantung niatnya dan hadits Ibnu Mas’ud yang menyatahkan bahwa
setiap amal adalah untuk mendapatkan pahala.
Ibn Munir menyebutkan kaidah perbuatan
yang memerlukan niat dan ada yang tidak. Beliau berkata , “Setiap perbuatan
yang tidak menimbulkan dampak seketika tetapi dimaksudkan mencari pahala, maka
disyaratkan niat. Apabila perbuatan tersebut menimbulkan efek seketika dan
telah dipraktekkan sebelum datangnya syari’ah karena adanya kesesuaian di
antara keduanya, maka tidak disyaratkan niat, kecuali yang mengerjakan memiiki
maksud lain untuk mendapatkan pahala.
Semua yang bersifat maknawi seperti rasa
takut dan raja’ (permohonan) tidak disyaratkan niat, karena perbuatan tersebut
tidak akan terwujud tanpa disertai niat. Jika tidak ada niat maka mustahil
perbuatan tersebut akan terwujud. Oleh karena itu niat merupakan syarat logis
bagi perbuatan. Berdasarkan hal itu, maka tidak disyaratkan niat untuk
menghindari adanya pengulangan yang tidak perlu. Sedangkan perbuatan yang harus
disertai dengan niat ada tiga. Pertama, perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
menghindari riya’. Kedua, untuk membedakan perbuatan lain yang tidak dimaksud. Ketiga, membuat kalimat baru untuk keluar dari
perbuatan sebelumnya dan memulai perbuatan yang baru.[4]
Jadi jelas bahwa “sahnya sesuatu amal
hanya dengan adanya niat”. Suatu amal yang tidak disertai niat, tidaklah
dihukum sah. Inilah yang dimaksud dengan basbr. Para ulama sependapat
menetapkan bahwa lafaz ini memfaedahkan basbr/qasbr. [5]Akan
tetapi para ahli ushul dan ulama-ulama pensyarah hadits berselisih pendapat
tentang “apakah yang memfaedahkan basbr, ialah lafaz al-a’mal yang
merupakan jama’ dari lafaz ‘amal. Tiap-tiap lafaz jama’ jika dimasukkan adat
ta’rif (tanda pengenal), yaitu al, niscaya memfaedahkan umum.
Nabi Muhammad SAW menyabut amal disini
dengan lafaz jama’nya. Maka dipahamkanlah, bahwa seluruh amal, tidak dipandang
adanya oleh syara’, melainkan disertai dengan niat. Mereka ini mengatakan:
lafaz innama di sini, memfaedahkan ta’kid saja.
Adapun niat menurut bahasa adalah tujuan
hati atau kehendak hati. Menurut syara’ adalah bergerak kearah suatu pekerjaan
mencari keridhaan Allah untuk mengatakan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Al-Badhawi berkata:
“Niat itu ialah bergerak hati kepada
mengerjakan sesuatu yang dipandang baik, untuk sesuatu maksud, baik untuk
menarik sesuatu manfaat, ataupun untuk menolak suatu mudharat, dalam waktu yang
cepat atau waktu yang akan datang. Dan syara’ menentukan niat dengan iradat (kehendak
hati) yang berhadap ke arah pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan untuk
mematuhu perintah-Nya”.[6]
Kebanyakan ulama Mutaakhirin Syafi’yah
mengartikan niat Syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan:
قصد الشئ مقنر نا بفعله
“Memaksudkan
(sengaja melakukan sesuatu), bersamaan dengan mengarjakannya”.
B.
Cara Ikhlas dalam Beramal
1.
Doa
Umar bin Khaththab
Radhiyallahu’anhu senantiasa berdoa dengan bacaan:
اَللَّهُمَّ
اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا, وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا, وَلاَ
تَجْعَلْ لأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئاً
Artinya:
“Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya, dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu, dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun”.
“Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya, dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu, dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun”.
2. Menyembunyikan Amal
Rasulullah Saw Bersabda yang artimya :
Rasulullah Saw Bersabda yang artimya :
“Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi
mereka di bawah naungan ‘Arsy-Nya di hari tiada naungan selain naungan-Nya: pemimpin
yang adil, seorang pemuda yang dibesarkan dalam nuansa beribadah kepada Allah,
seorang laki-laki yang hatinya selalu terikat dengan masjid, dua orang yang
saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu dan berpisah karen-Nya, seorang
laki-laki yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan terpandang lalu
(menolaknya dan) mengatakan, “Aku takut kepada Allah”, dan seseorang yang
bersedekah dengan sesuatu lalu ia berusaha menutupinya sampai-sampai tangan
kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”
(Muttafaq ‘alaih).[7]
3. Memperhatikan Amalan Mereka yang Terbaik
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah, “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk
segala ummat.”[8]
Bacalah biografi orang-orang
shaleh dari kalangan para ulama’, ahli ibadah, orang-orang terpandang dan
orang-orang yang zuhud, karena hal itu lebih berkesan untuk menambah keimanan
dalam hati.
4.
Memandang Remeh Apa yang
Telah Diamalkan
Sa’id bin
Jubair berkata, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah maksiat yang
dilakukannya; dan ada seseorang yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang
dilakukannya.” Orang-orang pun bertanya keheranan, “Bagaimana bisa begitu?”
Maka lanjutnya, “Seseorang melakukan kemaksiatan kemudian setelah itu ia
senantiasa takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya itu, kemudian ia
menghadap Allah lalu Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya; dan
seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya, kemudian ia
pun menghadap Allah dengan sikapnya itu maka Allah pun mencampakkannya ke dalam
neraka.”
5.
Merasa Khawatir Jika
Amalannya Tidak di Terimah
Anggaplah
remeh semua amalan yang telah Anda perbuat; kemudian jadilah Anda orang yang
senantiasa khawatir jika amal Anda tidak diterima. Allah Swt berfirman:[9]
“Dan
janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah
dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah
(perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu
golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah
hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan
dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” .[10]
6.
Tidak
Terpengaruh dengan Ucapan Orang
Ibnul Jauzy
berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati
mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha
untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan
orang-orang yang mulia.”
7.
Senantiasa Ingat bahwa
Surga dan Neraka bukan Miliki Manusia
Apabila seseorang selalu ingat bahwa orang-orang yang selalu menjadi
pusat perhatian (niat)nya dalam beramal akan sama-sama bediri bersamanya di
padang Mahsyar kelak dalam keadaan takut dan telanjang bulat, ia akan sadar
bahwa meniatkan suatu amal karena mereka adalah tidak pada tempatnya. Maka
wajib atas seorang mukmin untuk meyakini bahwa manusia tidak dapat memasukkan
Anda ke dalam Surga; merekapun tidak akan kuasa mengeluarkan Anda dari Neraka
ketika Anda meminta mereka untuk itu. Sekalipun seluruh manusia mulai dari Nabi
Adam ‘Alaihissalam hingga manusia terakhir berkumpul dan berdiri di belakang
Anda, mereka tidak akan mampu mendekatkan Anda ke dalam Surga selangkahpun.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
sallam bersabda:
“Barangsiapa beramal karena riya’ maka Allah akan memperlihatkan kepada manusia bahwa orang tersebut beramal karena riya’.”
(HR. Muslim).[11]
“Barangsiapa beramal karena riya’ maka Allah akan memperlihatkan kepada manusia bahwa orang tersebut beramal karena riya’.”
(HR. Muslim).[11]
8.
Ingatlah bahwa
Anda akan Berada dalam Kubur Sendirian
Jiwa akan menjadi baik bila senantiasa ingat akan tempat kembalinya. Jika
seorang hamba ingat bahwa ia akan berbantalkan tanah sendirian dalam kuburnya
tanpa ada teman yang menghibur, ingat bahwa tidak ada yang berguna baginya
selain amal shalehnya, ingat bahwa seluruh manusia tidak berdaya meringankan
sedikit pun siksa kubur darinya, ingat bahwa seluruh urusannya berada di tangan
Allah, ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya
kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha
Pencipta semata.[12]
C.
Menjauhi Perbuatan Riya’/Syirik Kecil
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ
قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا
جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً ؟.
قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا
جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً ؟.
"Dari
Mahmud bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.”
Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah
Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia
mendapat balasan atas amalan mereka: ‘Pergilah kalian pada orang yang kalian
tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan
balasan dari mereka?“.[13]
Riya menurut bahasa adalah
memperlihatkan kepada orang lain sesuatu yang bukan sebenarnya. Sedangkan riya’
menurut pengertian syar’i (istilah), adalah perbuatan ta’at dan meninggalkan
kemaksiatan disertai harapan perhatian selain Allah (tidak iklas), atau
memberitahukan keta’atannya atau senang memamerkannya dengan tujuan untuk
mencapai mencapai tujuan duniawi, baik berupa harta atau sejenisnya.
Allah Swt, telah mencela sifat riya’ itu di dalam al-Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu dari sifat-sifat orang-orang munafiq (Q.S. an-Nisaa’ : 142, al-Kahfi : 110, al-Ma’un : 4-6).
Allah Swt, telah mencela sifat riya’ itu di dalam al-Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu dari sifat-sifat orang-orang munafiq (Q.S. an-Nisaa’ : 142, al-Kahfi : 110, al-Ma’un : 4-6).
Riya’ dapat terjadi pada niat,
ucapan maupun berbuatan, Riya’ pada niat misalnya apabila seseorang mengerjakan
sesuatu agar dilihat dan dipuji orang. Riya’ pada ucapan misalnya terjadi dalam
kata-kata yang berisi nasihat tentang sikap mulia, berita tentang orang-orang
shahih agar dia dikatakan sebagai ulama yang berwawasan luas dan bertaqwa. Atau
riya pada ucapan terjadi dengan jalan pura-pura menyesali orang-orang yang
berbuat maksiat dan zalim seolah-olah ia seorang yang istiqomah dalam beramar
ma’ruf nahi munkar. Adapun riya’ pada perbuatan misalnya orang yang shalat
zhuhur dengan maksud menjalankan kewajiban yang Allah perintahkan kepadanya,
namun kemudian dia memperpanjang rukun-rukun dan bacaannya, juga memperbaguskan
gerakan-gerakannya agar dilihat manusia, maka pokok atau inti amalan shalat
tersebut diterima, sedangkan gerakan-gerakan yang dia panjang-panjangkan dan
dia bagus-baguskan agar dipuji manusia tidak diterima. sebab penyekutuannya
terjadi pada inti perbuatannya. Riya’ pada hakikatnya dapat terjadi dalam semua
bentuk perbuatan. Baik terjadi pada
sebelum melakukan perbuatan yaitu pada niat atau tujuan maupun sesudah
melakukan perbuatan yaitu dengan menceritakannya pada orang lain.[14]
Ketahuilah, keiklasan kadang bisa
dirusak oleh penyakit ujub (bangga terhadap diri sendiri). Siapa yang kagum
dengan amalan yang dia lakukan, maka pahalanya terhapus. Begitu juga dengan
orang yang sombong, pahala amalannya juga terhapus.[15]
Fudhail bin Iyadh berkata,
“Meninggalkan ibadah karena manusia adalah riya’, sedangkan mengerjakan ibadah
karena manusia adalah syirik. Yang disebut iklas adalah apabila Allah
menyelamatkanmu dari keduanya”. Maksud dari perkataan Al-Fudhail tersebut
adalah bahwa barang siapa yang berkeinginan untuk mengerjakan suatu ibadah,
kemudian dia meninggalkannya karena khawatir dilihat oleh manusia, maka dia
telah melakukan riya’. Sebab dia meninggalkan ibadah karena manusia. Adapun
jika dia meninggalkan ibadah itu, misalnya shalat, untuk mengerjakannya saat
sendirian tidak ada yang mengawasinya, maka hal tersebut sangat dianjurkan.
Kecuali jika itu shalat fardhu, zakat wajib, sedangkan yang bersangkutan
merupakan ulama yang menjadi panutan umat, maka mengerjakannya secara
terang-terangan itu jauh lebih utama.[16]
Apabila seimbang antara kekuatan
riya’ dan iklas karena Alah, kemudian menyesalinya pada pertengahan perbuatan,
maka sebagian ulama mewajibkannya mengulang kembali amalannya. Akan tetapi
sebagian ulama lainnya mengatakan amalan itu syah, karena yang menjadi
perhatian adalah akhir suatu perbuatan. Dalam al-Qur’an Allah swt menjelaskan
arti kata iklas dalam sebagai berikut:
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ
نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا
سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Dan
sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu.
Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang
bersih (murni) antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang
meminumnya.”[17]
Dari ayat diatas, kata ‘Khalisa’ berari bersih, murni dan tidak
bercampur dengan kotoran. Begitupula hendaknya dengan amal perbuatan yang
dilakukan dengan iklas itu. Bersih dan murni semata-mata hanya karena mengharap
ridha Allah swt.[18]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa iklas beramal
adalah niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya
dengan yang lain, atau dapat juga diartikan menyengajakan perbuatan semata-mata
mencari keridhaan Allah dan memurnikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan
duniawi. Iklas harus disertai dengan niat, niat adalah adalah
menyengajakan untuk berbuat sesuatu disertai dengan
perbuatan-perbuatannya. Adapun cara agar
kita bisa ikhlas dalam beribadah. Yaitu, do’a, menyembunyikan amal,
memperhatikan amalan mereka yang terbaik, memandang remeh apa yang telah
diamalkan, merasa khawatir jika amalannya tidak diterimah, tidak terpengaruh
dengan ucapan orang, senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan
milik manusia, ingat bahwa kita akan
berada dalam kubur sendirian. Dalam beramal kita
tidak diperbolehkan memiliki sifat riya’, karena perbutan riya’ termasuk ke
dalam syirik kecil, dan itu bisa mengakibatkan kepada sipelaku terjerumus
kedalam api neraka, dan perbuatan yang telah ia lakukan itu hanyalah sia-sia
belaka.
B. Saran
Demikian
makalah ini kami buat. Kami sadar akan banyaknya kekurangan dan jauh dari hal
sempurna. Masih banyak kesalahan dari makalah ini. Kami juga membutuhkan kritik
dan saran agar bisa menjadi motivasi bagi kami kedepan untuk bisa lebih baik
lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita yang membacanya terutama
bagi penulis sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Qardhawi,
Yusuf. 1996. Ikhlas Sumber Kekuatan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Haryanto,
Toto dan Uswatun Hasanah. 2006. Hadits. Palembang: IAIN Raden Fatah
Press.
Said,
Abu Abdillah. 2016. Hadits Arbain Imam An-Nawawi. Solo: Al-Wafi
Hasbi,
Fuad. 2005. Mutiara Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
[1]Yusuf Qardhawi,
Ikhlas Sumber Kekuatan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Hal.
13
[2] H.R. Bukhari,
kitab al-Iman, bab Setiap Perbuatan Harus Disertai Niat dan Ingin Mendapatkan
Pahala, karena Setiap Perbuatan Tergantung Kepada Niat (41), Juz 1. Hal. 19. (H.R.
Bukhari nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn
Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-Ja’fi Al-Bukhari. Dilahirkan hari Jumat 13 Syawal
194 H di kota Bukhara. Dia tinggal di Madinah dan menulis kitab sejarah yang
terkenal Tarikh Al-Kabir, di samping makam Nabi Muhammad Saw. dia tergolong
orang yang penyabar dan memiliki kecerdasan yang tinggi, karena itulah dia
diberi gelar Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits. Al-Bukhari menghafal 100.000
hadits sahih dan 200.000 hadits yang tidak sahih. dia wafat pada tanggal 30
Ramadhan tahun 256 H ketika berumur 60 tahun. Dalam bidang ini, hampir semua
ulama di dunia merujuk kepadanya. Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Haditss,
(Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006), Hal.19
[3]Abu Abdillah
Said bin Ibrahim, Hadits Abrain Imam An-Nawawi, (Solo: Al-Wafi, 2016), Hal.37
[4] Toto Haryanto
dan Uswatun Hasanah, Hadits, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press), Hal.
19
[6] Toto Haryanto
dan Uswatun Hasanah, Hadits, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press), Hal.
21
[7]
Fuad Hasbi, Mutiara
Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 44
[8] QS. Al-An’am:
90
[9]
Fuad Hasbi, Mutiara
Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 44
[10] QS. An-Nahl:
92
[11] HR
Muslim, bernama lengkap Imam Abul Husain
Muslim bin al-Hajjah Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisaburi tahun 202 H
atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Hadits-hadits yang
diriwayatkannya mempunyai derajat yang
tinggi sehingga digolongkan dalam hadits shahih. Setelah mengarungi
kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan
di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari senin, 25 Rajab 261 H. Dalam
usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat
bermanfaat.
[12]
Fuad Hasbi, Mutiara
Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 45
[13] H.R. Ahmad
(Ahmad bin Hanbal lahir 20 Rabiul awal 164 H (27 November 780) wafat 12 Rabiul
Awal 241 H (4 Agustus 855) Dia lahir di
Marw di kota Baghdad, irak , dia tumbuh besar di bawah asuhan ibunya karena
ayahnya meninggal saat dia berumur tiga tahun. dia seorang ahli hadits dan teologi islam. Beliau hafal
al-Qur’an ketika berumur 15 tahun. Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal. Atau di kenal juga dengan Imam hambali. Toto Haryanto dan Uswatun
Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006), Hal. 23
[14] Toto Haryanto
dan Uswatun Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006),
Hal. 24
[15]
Abu Abdillah
Said bin Ibrahim, Hadits Abrain Imam An-Nawawi, (Solo: Al-Wafi, 2016), Hal. 39
[16]
Abu Abdillah
Said bin Ibrahim, Hadits Abrain Imam An-Nawawi, (Solo: Al-Wafi, 2016), Hal.37
[17] Qs : an-Nahl:
66
[18] Toto Haryanto
dan Uswatun Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006),
Hal. 25
Trims ... :)
BalasHapus