makalah iklas beramal



IKLAS BERAMAL

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits
Disusun Oleh Kelompok 3 :
                      1.Cindy Agustini               (2016.01.050)
                      2.Devi Afriani                    (2016.01.066)
                      3.Luthfiah Rizky Amini    (2016.01.049)
                      4.Wiwin Novayani             (2016.01.067)

                       Dosen Pengampu : Tapa’ul Habdin, M.A.




Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an al-Ittifaqiah ( STITQI )
Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan
 Tahun Akademik 2017
KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadiran Allah SWT karena berkat limpahan rahmat, taufik serta hidayat-Nya, Kami dapat menyelesaikan makalah tentang “IKLAS BERAMAL“ ini. Semoga kita semua selalu berada dalam rida-Nya. Amin. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah Hadits. Salam dan shalawat kami kirimkan kepada suritauladan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
            Kami menyadari, bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata,  semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi Penulis sendiri.

Indralaya, 08 Desember 2017

                                                                            Penulis





DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ...........................................................................
II
DAFTAR ISI ..........................................................................................
III
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1
A.    Latar Belakang ...........................................................................
1
B.     Rumusan Masalah .......................................................................
1
C.     Tujuan Masalah ...........................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................
2
A.    Pengertian dan Niat Ikhlas Beramal ............................................
2
B.     Cara Ikhlas dalam Beramal .........................................................
6
C.     Menjauhi Perbuatan Riya’/ Syirik kecil ......................................
10
BAB III PENUTUP ...............................................................................
14
A.    Simpulan ......................................................................................
14
B.     Saran ............................................................................................
14
C.     Daftar Pustaka .............................................................................
15





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ikhlas dalam beramal merupakan sikap yang tiada mengharapkan tujuan lain selain dari pada untuk mendekatkan diri  kepada Allah. Ikhlas dalam beramal tidak boleh diikuti dengan niat riya, yaitu mengharapkan pujian atau kehormatan dari sesamanya. Karena amal yang akan dibalas oleh Allah adalah amal  yang dilakukan karena mengharap kasih dan sayang-Nya, yaitu dengan keikhlasan di dalam hatinya.
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan judul diatas merupakan hal yang sangat penting sekali. Karena banyak sekali orang yang berbuat tidak disertai dengan niat yang ikhlas. Sehingga kita perlu tahu, apa  hal-hal yang  menjadi tolak ukur ikhlas atau tidaknya seseorang dalam berbuat kebajikan. Dan apa jadinya suatu amalan yang dilakukan dengan niat bukan untuk mendapatkan ridha Allah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan iklas beramal beserta niatnya ?
2.      Bagaimana Cara Ikhlas dalam Beramal ?
3.      Mengapa perbuatan riya’ dan syirik harus dijauhi ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk pengetahui pengertian iklas beramal beserta niatnya.
2.      Untuk mengetahui Cara Ikhlas dalam beramal.
3.      Untuk mengetahui bahayanya sifat riya’ dan syirik.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ikhlas Beramal
Secara bahasa ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak, atau dapat juga diartikan sebagai menyengajakan perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah dan memurnikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan duniawi. Dengan demikian, perbuatan seseorang benar-benar tidak dicampuri oleh keinginan yang bersifat sementara, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain, pemuasan hawa nafsu, dan penyakit hati lainnya.  Para ulama sepakat bahwa niat dalam setiap amal itu merupakan satu kemestian bagi diperolehnya pahala dari amal itu. Ikhlas karena Allah dalam berbuat merupakan salah satu syarat diterimanya perbuatan itu. hal ini, karena Allah tidak akan menerima amal perbuatan seseorang kecuali karena keikhlasan, hanya mengharap ridho-Nya.[1]
Niat  motivasi beramal :
        عن أميرالمؤمنين أبى حفص عمر ابن الخطاب رضي اللّه عنه قال : سمعت رسول اللّه   
        صلى اللّه عليه وسلم يقول : إنما الأعمال بالنيات وسول اللّه صلى اللّه عليه             وسلم يقول : إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كا نت هجرته
        إلى اللّه ورسوله فهجرته إلى اللّه ورسوله , ومن كانت هجرته لدنياه يصيبها أوامرءة         ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه                                                               
“Dari Amirul Mu’minin Abu Hafshin Umar bin Khathtbab r.a., ia berkata saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : ‘sesunggunya segala amal ibadah itu dengan niat. Dan sesunggunya bagi tiap-tiap orang itu, hanyalah menurut apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka ia akan memperoleh pahala. Dan barang siapa yang berhijrah untuk memperoleh keduniaan (harta dan kemegahan dunia) atau karena seorang perempuan yang akan dikawininya, maka ia akan memperoleh apa yang dihijrahinya (ditujunya).”[2]
Hadits di atas menunjukn bahwa niat merupakan stantar benar tidaknya suatu perbuatan. Apabila niatnya baik, maka amalannya juga bernilai baik. Apabila niatnya rusak, maka amalannya juga dinilai rusak. Jika perbuatan seseorang dihubungkan dengan niat, maka dapat dibagi menjadi tiga:
Pertama: dia melakukan hal itu karena takut kepada Allah swt, ini adalah model ibadah ala budak.
Kedua: dia melakukannya karena berharap masuk surga dan memperoleh pahala, ini adalah model ibadah ala pedagang.
ketiga: dia melakukannya karena malu kepada Allah dan sebagai realisasi atas hak Allah sebagai ilah yang harus diibadahi, serta sebagai wujud rasa syukur. Selian itu, dia memandang dirinya masih kurang maksimal, sehingga hatinya merasa takut, sebab dia tidak mengetahui apakah amalan yang dia lakukan diterima ataukah tidak. Ini adalah model ibadah ala orang merdeka. Hal inilah yang disinggung oleh Rasulullah ketika Aisyah berkata kepada beliau saat melihat beliau bangun diwaktu malam hingga kedua kakinya bengkak, Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau harus membebani diri seperti itu, Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?    ”Beliau menjawab: “Bukankah sudah sepantasnya aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” [3]
Telah disebutkan dalam Kitab Al-Bayan wat-Ta’rif, tentang sebab  Nabi menyabdakan hadits ini: “manakala Rasulullah SAW telah bermukim di Madinah sahabat-sahabatnya telah berhijrah kesana dan banyak yang mendapat penyakit demam, datanglah seorang laki-laki ke Madinah dengan menyatahkan bahwa dia berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Sebenarnya dia datang untuk mengawini seorang perempuan yang ia cintai, yang telah lebih dulu ke Madinah, yang biasa dipanggil Ummul Qois. Namanya yang sebenarnya  adalah Lailah. Pada suatu hari Nabi naik ke mimbar memberi nasehat kepada umat. Diantara ucapan beliau ketika itu ialah hadits yang dibahas ini.
Ibnu Mas’ud berkata: :Diantara para sahabat ada seorang lelaki yang ingin kawin dengan seorang perempuan yang biasa dipanggil Ummul Qois yang tidak suka menjadi istri orang yang mencintainya. Kalau orang itu tidak mau berhijrah. Karena itu, berhijrahlah orang tersebut, lalu kawinlah mereka. Para sahabat menamai orang/lelaki itu dengan Muhajir Ummu Qois = seseorang yang berhijrah karena Ummul Qois. Kisah Muhajir Ummul Qois ini diriwayatkan oleh: Sa’ied Ibnu Manshur dalam sunahnya.
Hadis ini menerangkan bahwa setiap perbuatan syar’iyyah tergantung dengan niat dan hisbah (keinginan untuk mendapatkan pahala). Yaitu apabila dikaitkan dengan hadis Umar bahwa setiap perbuatan tergantung niatnya dan hadits Ibnu Mas’ud yang menyatahkan bahwa setiap amal adalah untuk mendapatkan pahala.
Ibn Munir menyebutkan kaidah perbuatan yang memerlukan niat dan ada yang tidak. Beliau berkata , “Setiap perbuatan yang tidak menimbulkan dampak seketika tetapi dimaksudkan mencari pahala, maka disyaratkan niat. Apabila perbuatan tersebut menimbulkan efek seketika dan telah dipraktekkan sebelum datangnya syari’ah karena adanya kesesuaian di antara keduanya, maka tidak disyaratkan niat, kecuali yang mengerjakan memiiki maksud lain untuk mendapatkan pahala.
Semua yang bersifat maknawi seperti rasa takut dan raja’ (permohonan) tidak disyaratkan niat, karena perbuatan tersebut tidak akan terwujud tanpa disertai niat. Jika tidak ada niat maka mustahil perbuatan tersebut akan terwujud. Oleh karena itu niat merupakan syarat logis bagi perbuatan. Berdasarkan hal itu, maka tidak disyaratkan niat untuk menghindari adanya pengulangan yang tidak perlu. Sedangkan perbuatan yang harus disertai dengan niat ada tiga. Pertama, perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menghindari riya’. Kedua, untuk membedakan perbuatan lain yang tidak dimaksud. Ketiga, membuat kalimat baru untuk keluar dari perbuatan sebelumnya dan memulai perbuatan yang baru.[4]
Jadi jelas bahwa “sahnya sesuatu amal hanya dengan adanya niat”. Suatu amal yang tidak disertai niat, tidaklah dihukum sah. Inilah yang dimaksud dengan basbr. Para ulama sependapat menetapkan bahwa lafaz ini memfaedahkan basbr/qasbr. [5]Akan tetapi para ahli ushul dan ulama-ulama pensyarah hadits berselisih pendapat tentang “apakah yang memfaedahkan basbr, ialah lafaz al-a’mal yang merupakan jama’ dari lafaz ‘amal. Tiap-tiap lafaz jama’ jika dimasukkan adat ta’rif (tanda pengenal), yaitu al, niscaya memfaedahkan umum.
Nabi Muhammad SAW menyabut amal disini dengan lafaz jama’nya. Maka dipahamkanlah, bahwa seluruh amal, tidak dipandang adanya oleh syara’, melainkan disertai dengan niat. Mereka ini mengatakan: lafaz innama di sini, memfaedahkan ta’kid saja.
Adapun niat menurut bahasa adalah tujuan hati atau kehendak hati. Menurut syara’ adalah bergerak kearah suatu pekerjaan mencari keridhaan Allah untuk mengatakan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Al-Badhawi berkata:
“Niat itu ialah bergerak hati kepada mengerjakan sesuatu yang dipandang baik, untuk sesuatu maksud, baik untuk menarik sesuatu manfaat, ataupun untuk menolak suatu mudharat, dalam waktu yang cepat atau waktu yang akan datang. Dan syara’ menentukan niat dengan iradat (kehendak hati) yang berhadap ke arah pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan untuk mematuhu perintah-Nya”.[6]
Kebanyakan ulama Mutaakhirin Syafi’yah mengartikan niat Syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan:
               قصد الشئ مقنر نا بفعله  
“Memaksudkan (sengaja melakukan sesuatu), bersamaan dengan mengarjakannya”.

B.     Cara Ikhlas dalam Beramal
1.      Doa
Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu senantiasa berdoa dengan bacaan:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا, وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا, وَلاَ تَجْعَلْ لأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئاً
Artinya:
“Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya, dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu, dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun”.
2.      Menyembunyikan Amal
Rasulullah Saw Bersabda yang artimya :
 “Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka di bawah naungan ‘Arsy-Nya di hari tiada naungan selain naungan-Nya: pemimpin yang adil, seorang pemuda yang dibesarkan dalam nuansa beribadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terikat dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu dan berpisah karen-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan terpandang lalu (menolaknya dan) mengatakan, “Aku takut kepada Allah”, dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia berusaha menutupinya sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih).[7]
3.      Memperhatikan Amalan Mereka yang Terbaik
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah, “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat.”[8]
     Bacalah biografi orang-orang shaleh dari kalangan para ulama’, ahli ibadah, orang-orang terpandang dan orang-orang yang zuhud, karena hal itu lebih berkesan untuk menambah keimanan dalam hati.

4.      Memandang Remeh Apa yang Telah Diamalkan
Sa’id bin Jubair berkata, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah maksiat yang dilakukannya; dan ada seseorang yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang dilakukannya.” Orang-orang pun bertanya keheranan, “Bagaimana bisa begitu?” Maka lanjutnya, “Seseorang melakukan kemaksiatan kemudian setelah itu ia senantiasa takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya itu, kemudian ia menghadap Allah lalu Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya; dan seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya, kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.”
5.      Merasa Khawatir Jika Amalannya Tidak di Terimah
Anggaplah remeh semua amalan yang telah Anda perbuat; kemudian jadilah Anda orang yang senantiasa khawatir jika amal Anda tidak diterima. Allah Swt berfirman:[9]
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” .[10]
6.      Tidak Terpengaruh dengan Ucapan Orang
Ibnul Jauzy berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.”
7.      Senantiasa Ingat bahwa Surga dan Neraka bukan Miliki Manusia
Apabila seseorang selalu ingat bahwa orang-orang yang selalu menjadi pusat perhatian (niat)nya dalam beramal akan sama-sama bediri bersamanya di padang Mahsyar kelak dalam keadaan takut dan telanjang bulat, ia akan sadar bahwa meniatkan suatu amal karena mereka adalah tidak pada tempatnya. Maka wajib atas seorang mukmin untuk meyakini bahwa manusia tidak dapat memasukkan Anda ke dalam Surga; merekapun tidak akan kuasa mengeluarkan Anda dari Neraka ketika Anda meminta mereka untuk itu. Sekalipun seluruh manusia mulai dari Nabi Adam ‘Alaihissalam hingga manusia terakhir berkumpul dan berdiri di belakang Anda, mereka tidak akan mampu mendekatkan Anda ke dalam Surga selangkahpun.
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa beramal karena riya’ maka Allah akan memperlihatkan kepada manusia bahwa orang tersebut beramal karena riya’.”
 (HR. Muslim).[11]

8.      Ingatlah bahwa Anda akan Berada dalam Kubur Sendirian
Jiwa akan menjadi baik bila senantiasa ingat akan tempat kembalinya. Jika seorang hamba ingat bahwa ia akan berbantalkan tanah sendirian dalam kuburnya tanpa ada teman yang menghibur, ingat bahwa tidak ada yang berguna baginya selain amal shalehnya, ingat bahwa seluruh manusia tidak berdaya meringankan sedikit pun siksa kubur darinya, ingat bahwa seluruh urusannya berada di tangan Allah, ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha Pencipta semata.[12]
C.    Menjauhi Perbuatan Riya’/Syirik Kecil
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ
 قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
: الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا
 جُزِىَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً ؟.
                        "Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya’. Allah Ta’ala berkata pada mereka yang berbuat riya’ pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka: ‘Pergilah kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya’ di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?“.[13]
Riya menurut bahasa adalah memperlihatkan kepada orang lain sesuatu yang bukan sebenarnya. Sedangkan riya’ menurut pengertian syar’i (istilah), adalah perbuatan ta’at dan meninggalkan kemaksiatan disertai harapan perhatian selain Allah (tidak iklas), atau memberitahukan keta’atannya atau senang memamerkannya dengan tujuan untuk mencapai mencapai tujuan duniawi, baik berupa harta atau sejenisnya.
Allah Swt, telah mencela sifat riya’ itu di dalam al-Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu dari sifat-sifat orang-orang munafiq (Q.S. an-Nisaa’ : 142, al-Kahfi : 110, al-Ma’un : 4-6).
Riya’ dapat terjadi pada niat, ucapan maupun berbuatan, Riya’ pada niat misalnya apabila seseorang mengerjakan sesuatu agar dilihat dan dipuji orang. Riya’ pada ucapan misalnya terjadi dalam kata-kata yang berisi nasihat tentang sikap mulia, berita tentang orang-orang shahih agar dia dikatakan sebagai ulama yang berwawasan luas dan bertaqwa. Atau riya pada ucapan terjadi dengan jalan pura-pura menyesali orang-orang yang berbuat maksiat dan zalim seolah-olah ia seorang yang istiqomah dalam beramar ma’ruf nahi munkar. Adapun riya’ pada perbuatan misalnya orang yang shalat zhuhur dengan maksud menjalankan kewajiban yang Allah perintahkan kepadanya, namun kemudian dia memperpanjang rukun-rukun dan bacaannya, juga memperbaguskan gerakan-gerakannya agar dilihat manusia, maka pokok atau inti amalan shalat tersebut diterima, sedangkan gerakan-gerakan yang dia panjang-panjangkan dan dia bagus-baguskan agar dipuji manusia tidak diterima. sebab penyekutuannya terjadi pada inti perbuatannya. Riya’ pada hakikatnya dapat terjadi dalam semua bentuk  perbuatan. Baik terjadi pada sebelum melakukan perbuatan yaitu pada niat atau tujuan maupun sesudah melakukan perbuatan yaitu dengan menceritakannya pada orang lain.[14]
Ketahuilah, keiklasan kadang bisa dirusak oleh penyakit ujub (bangga terhadap diri sendiri). Siapa yang kagum dengan amalan yang dia lakukan, maka pahalanya terhapus. Begitu juga dengan orang yang sombong, pahala amalannya juga terhapus.[15]
Fudhail bin Iyadh berkata, “Meninggalkan ibadah karena manusia adalah riya’, sedangkan mengerjakan ibadah karena manusia adalah syirik. Yang disebut iklas adalah apabila Allah menyelamatkanmu dari keduanya”. Maksud dari perkataan Al-Fudhail tersebut adalah bahwa barang siapa yang berkeinginan untuk mengerjakan suatu ibadah, kemudian dia meninggalkannya karena khawatir dilihat oleh manusia, maka dia telah melakukan riya’. Sebab dia meninggalkan ibadah karena manusia. Adapun jika dia meninggalkan ibadah itu, misalnya shalat, untuk mengerjakannya saat sendirian tidak ada yang mengawasinya, maka hal tersebut sangat dianjurkan. Kecuali jika itu shalat fardhu, zakat wajib, sedangkan yang bersangkutan merupakan ulama yang menjadi panutan umat, maka mengerjakannya secara terang-terangan itu jauh lebih utama.[16]
Apabila seimbang antara kekuatan riya’ dan iklas karena Alah, kemudian menyesalinya pada pertengahan perbuatan, maka sebagian ulama mewajibkannya mengulang kembali amalannya. Akan tetapi sebagian ulama lainnya mengatakan amalan itu syah, karena yang menjadi perhatian adalah akhir suatu perbuatan. Dalam al-Qur’an Allah swt menjelaskan arti kata iklas dalam sebagai berikut:
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ           
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih (murni) antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”[17]
Dari ayat diatas, kata ‘Khalisa’ berari bersih, murni dan tidak bercampur dengan kotoran. Begitupula hendaknya dengan amal perbuatan yang dilakukan dengan iklas itu. Bersih dan murni semata-mata hanya karena mengharap ridha Allah swt.[18]













BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa iklas beramal adalah niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain, atau dapat juga diartikan menyengajakan perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah dan memurnikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan duniawi. Iklas harus disertai dengan niat, niat adalah adalah menyengajakan untuk berbuat sesuatu disertai dengan perbuatan-perbuatannya.  Adapun cara agar kita bisa ikhlas dalam beribadah. Yaitu, do’a, menyembunyikan amal, memperhatikan amalan mereka yang terbaik, memandang remeh apa yang telah diamalkan, merasa khawatir jika amalannya tidak diterimah, tidak terpengaruh dengan ucapan orang, senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik  manusia, ingat bahwa kita akan berada dalam kubur sendirian. Dalam beramal kita tidak diperbolehkan memiliki sifat riya’, karena perbutan riya’ termasuk ke dalam syirik kecil, dan itu bisa mengakibatkan kepada sipelaku terjerumus kedalam api neraka, dan perbuatan yang telah ia lakukan itu hanyalah sia-sia belaka.
B.     Saran
Demikian makalah ini kami buat. Kami sadar akan banyaknya          kekurangan dan jauh dari hal sempurna. Masih banyak kesalahan dari makalah ini. Kami juga membutuhkan kritik dan saran agar bisa menjadi motivasi bagi kami kedepan untuk bisa lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita yang membacanya terutama bagi penulis sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Qardhawi, Yusuf. 1996. Ikhlas Sumber Kekuatan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Haryanto, Toto dan Uswatun Hasanah. 2006. Hadits. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Said, Abu Abdillah. 2016. Hadits Arbain Imam An-Nawawi. Solo: Al-Wafi
Hasbi, Fuad. 2005. Mutiara Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra.





[1]Yusuf Qardhawi, Ikhlas Sumber Kekuatan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Hal. 13
[2] H.R. Bukhari, kitab al-Iman, bab Setiap Perbuatan Harus Disertai Niat dan Ingin Mendapatkan Pahala, karena Setiap Perbuatan Tergantung Kepada Niat (41), Juz 1. Hal. 19. (H.R. Bukhari nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah Al-Ja’fi Al-Bukhari. Dilahirkan hari Jumat 13 Syawal 194 H di kota Bukhara. Dia tinggal di Madinah dan menulis kitab sejarah yang terkenal Tarikh Al-Kabir, di samping makam Nabi Muhammad Saw. dia tergolong orang yang penyabar dan memiliki kecerdasan yang tinggi, karena itulah dia diberi gelar Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits. Al-Bukhari menghafal 100.000 hadits sahih dan 200.000 hadits yang tidak sahih. dia wafat pada tanggal 30 Ramadhan tahun 256 H ketika berumur 60 tahun. Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya. Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006), Hal.19
[3]Abu Abdillah Said bin Ibrahim, Hadits Abrain Imam An-Nawawi, (Solo: Al-Wafi, 2016), Hal.37
[4] Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Hadits, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press), Hal. 19

[6] Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Hadits, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press), Hal. 21
[7] Fuad Hasbi, Mutiara Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 44
[8] QS. Al-An’am: 90
[9] Fuad Hasbi, Mutiara Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 44
[10] QS. An-Nahl: 92
[11] HR Muslim,  bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjah Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam  Muslim dilahirkan di Naisaburi tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Hadits-hadits yang diriwayatkannya mempunyai derajat yang  tinggi sehingga digolongkan dalam hadits shahih. Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari senin, 25 Rajab 261 H. Dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat.
[12] Fuad Hasbi, Mutiara Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), hal. 45
[13] H.R. Ahmad (Ahmad bin Hanbal lahir 20 Rabiul awal 164 H (27 November 780) wafat 12 Rabiul Awal 241 H (4 Agustus  855) Dia lahir di Marw di kota Baghdad, irak , dia tumbuh besar di bawah asuhan ibunya karena ayahnya meninggal saat dia berumur tiga tahun. dia seorang  ahli hadits dan teologi islam. Beliau hafal al-Qur’an ketika berumur 15 tahun. Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Atau di kenal juga dengan Imam hambali. Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006), Hal. 23
[14] Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006), Hal. 24
[15] Abu Abdillah Said bin Ibrahim, Hadits Abrain Imam An-Nawawi, (Solo: Al-Wafi, 2016), Hal. 39
[16] Abu Abdillah Said bin Ibrahim, Hadits Abrain Imam An-Nawawi, (Solo: Al-Wafi, 2016), Hal.37
[17] Qs : an-Nahl: 66
[18] Toto Haryanto dan Uswatun Hasanah, Haditss, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press,2006), Hal. 25

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MARGIND DAN COVER

Home Numbering Dan Bullet